Masa anak usia sekolah
A. Karakterisrik
anak usia sekolah
1.
Usia
6-12 tahun (untuk anak laki-laki dan perempuan)
2.
Perkembangan fisik
Perkembangan fisik
atau jasmani anak sangat berbeda satu sama lain, sekalipun anak-anak tersebut
usianya relatif sama, bahkan dalam kondisi ekonomi yang relatif sama pula.
Sedangkan pertumbuhan anak-anak berbeda ras juga menunjukkan perbedaan yang
menyolok. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan gizi, lingkungan, perlakuan
orang tua terhadap anak, kebiasaan hidup dan lain-lain. Nutrisi
dan kesehatan amat mempengaruhi perkembangan fisik anak. Kekurangan nutrisi
dapat menyebabkan pertumbuhan anak menjadi lamban, kurang berdaya dan tidak
aktif. Sebaliknya anak yang memperoleh makanan yang bergizi, lingkungan yang
menunjang, perlakuan orang tua serta kebiasaan hidup yang baik akan menunjang
pertumbuhan dan perkembangan anak. Olahraga juga merupakan
faktor penting pada pertumbuhan fisik anak. Anak yang kurang berolahraga atau
tidak aktif sering kali menderita kegemukan atau kelebihan berat badan yang
dapat mengganggu gerak dan kesehatan anak. Orang tua harus
selalu memperhatikan berbagai macam penyakit yang sering kali diderita anak,
misalnya bertalian dengan kesehatan penglihatan (mata), gigi, panas, dan
lain-lain. Oleh karena itu orang tua selalu memperhatikan kebutuhan utama anak,
antara lain kebutuhan gizi, kesehatan dan kebugaran jasmani yang dapat
dilakukan setiap hari sekalipun sederhana.
3.
Perkembangan psikoseksual
4.
Perkembangan psikososial
Perkembangan emosi anak usia 6-8 tahun antara lain anak
telah dapat mengekspresikan reaksi terhadap orang lain, telah dapat mengontrol
emosi, sudah mampu berpisah dengan orang tua dan telah mulai belajar tentang
benar dan salah. Untuk perkembangan kecerdasannya anak usia kelas awal SD
ditunjukkan dengan kemampuannya dalam melakukan seriasi, mengelompokkan obyek,
berminat terhadap angka dan tulisan, meningkatnya perbendaharaan kata, senang
berbicara, memahami sebab akibat dan berkembangnya pemahaman terhadap ruang dan
waktu.
5.
Perkembangan kognitif
Piaget
(1950) menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara tersendiri dalam
menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya (teori perkembangan
kognitif). Menurutnya, setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut
schemata yaitu sistem konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil pemahaman
terhadap objek yang ada dalam lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut
berlangsung melalui proses asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep yang
sudah ada dalam pikiran) dan akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam
pikiran untuk menafsirkan objek). Kedua proses tersebut jika berlangsung terus
menerus akan membuat pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang.
Dengan cara seperti itu secara bertahap anak dapat membangun pengetahuan melalui
interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku belajar
anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek dari dalam dirinya dan lingkungannya.
Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang proses belajar
terjadi dalam konteks interaksi diri anak dengan lingkungannya. Anak usia
sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret. Pada rentang usia tersebut
anak mulai menunjukkan perilaku belajar sebagai berikut: (1) Mulai memandang
dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek lain secara
reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak, (2) Mulai berpikir secara
operasional, (3) Mempergunakan cara berpikir operasional untuk
mengklasifikasikan benda-benda, (4) Membentuk dan mempergunakan keterhubungan
aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab
akibat, dan (5) Memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang, lebar,
luas, dan berat. Memperhatikan
tahapan perkembangan berpikir tersebut, kecenderungan belajar anak usia sekolah
dasar memiliki tiga ciri, yaitu: 1. Konkrit
Konkrit mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkrit yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan diotak atik, dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan. 2. Integratif
Pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke bagian demi bagian. 3. Hierarkis
Pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak belajar berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu diperhatikan mengenai urutan logis, keterkaitan antar materi, dan cakupan keluasan serta kedalaman materi .
Konkrit mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkrit yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan diotak atik, dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan. 2. Integratif
Pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke bagian demi bagian. 3. Hierarkis
Pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak belajar berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu diperhatikan mengenai urutan logis, keterkaitan antar materi, dan cakupan keluasan serta kedalaman materi .
6.
Perkembangan moralitas
Kepada orang tua sangat dianjurkan bahwa selain memberikan bimbingan
juga harus mengajarkan bagaimana anak bergaul dalam masyarakat dengan tepat,
dan dituntut menjadi teladan yang baik bagi anak, mengembangkan keterampilan
anak dalam bergaul dan memberikan penguatan melalui pemberian hadiah kepada
ajak apabila berbuat atau berperilaku yang positif.
Terdapat bermacam hadiah yang sering kali diberikan kepada anak,
yaitu yang berupa materiil dan non materiil. Hadiah tersebut diberikan dengan
maksud agar pada kemudian hari anak berperilaku lebih positif dan dapat
diterima dalam masyarakat luas.
Fungsi hadiah bagi anak, antara lain: (a) memiliki nilai
pendidikan, (b) memberikan motivasi kepada anak, (c) memperkuat perilaku dan
(d) memberikan dorongan agar anak berbuat lebih baik lagi.
Fungsi hukuman yang diberikan kepada anak adalah: (a) fungsi
restruktif, (b) fungsi pendidikan, (c) sebagai penguat motivasi.
Syarat pemberian hukuman adalah: (a) segera diberikan, (b)
konsisten, (c) konstruktif, (d) impresional artinya tidak ditujukan kepada
pribadi anak melainkan kepada perbuatannya, (e) harus disertai alasan, (f)
sebagai alat kontrol diri, (g) diberikan pada tempat dan waktu yang tepat.
7.
Perkembangan keagamaan
Pemahaman anak akan nilai-nilai agama menurut Ernest
Harms (dalam Lilis Suryani dkk., 2008; 1.10 – 1.11) berlangsung melalui 3
tahap, yaitu sebagai berikut:
1. Tingkat Dongeng (The
Fairy Tale Stage)
Tingkat ini dialami oleh anak yang berusia 3 – 6
tahun. Ciri-ciri perilaku anak pada masa ini masih banyak dipengaruhi oleh daya
fantasinya sehingga dalam menyerap materi ajar agama anak juga masih banyak
menggunakan daya fantasinya.
2. Tingkat Kenyataan (The
Realistic Stage)
Tingkat ini dialami anak usia 7 – 15 tahun. Pada masa
ini anak sudah dapat menyerap materi ajar agama berdasarkan kenyataan-kenyataan
yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Anak sudah tertarik pada apa yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Segala bentuk tindak amal keagamaan
mereka ikuti dan tertarik untuk mempelajari lebih jauh.
3. Tingkat Individu (The
Individual Stage)
Tingkat individu dialami oleh anak yang berusia 15 ke
atas. Konsep keagaamaan yang individualistic ini terbagi atas tiga bagian,
yaitu: a. konsep keagamaan yang konvensional dan konservatif yang dipengaruhi
oleh sebagian kecil fantasi, b. konsep keagamaan yang murni dinyatakan dengan
pandangan yang bersifat personal, dan c. konsep keagamaan yang humanistic.
Agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran
agama.
Pengembangan nilai-nilai agama pada anak harus
didasarkan pada karakteristik perkembangan anak. Jika memperhatikan pendapat
Ernest Harms sebagaimana dikemukakan di atas, maka usaha pengembangan
nilai-nilai agama menjadi efektif jika dilakukan melalui cerita-cerita yang di
dalamnya terkandung ajaran-ajaran agama. Dengan demikian daya fantasi anak
berperan dalam menyerap nilai-nilai agama yang terdapat dalam cerita yang
diterimanya.
B.
Tugas perkembangan
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980)
tugas perkembangan pada masa anak-anak adalah sebagai berikut: a) Mempelajari
ketrampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang umum. b)
Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai mahluk yang sedang
tumbuh. c) Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya d) Mulai
mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat e) Mengembangkan
ketrampilan-ketrampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung f)
Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari
g) Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata dan tingkatan nilai h)
Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial
dan lembaga-lembaga i) Mencapai kebebasan pribadi.
C.
Masalah-masalah
D. Fungsi konseling untuk remaja akhir
a. Fungsi umum konseling
1. Fungsi Pemahaman, merupakan
fungsi BK membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya
(potensinya) dan lingkunganya. Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan
mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya
dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
2. Fungsi Pencegahan,
yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa
mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk
mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli.
3. Fungsi Perbaikan,
fungsi BK untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam
berfikir berperasaan dan bertindak.
4. Fungsi
Pengembangan, fungsi BK yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi
lainya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli.
b. Fungsi utama konseling
1.
Fungsi Fasilitasi, fungsi ini diberikan kepada anak usia sekolah
agar dapat mencapai pertumbuhan dan
perkembang secara optimal.
2.
Fungsi Pengembangan, fungsi ini bertujuan untuk memberikan lingkungsn belajar
yang kondusif bagi konseli.
E. Tujuan konseling untuk anak usia sekolah
1.
Tujuan konseling pada umumnya
Konseling merupakan salah satu
teknik pelayanan dalam bimbingan secara keseluruhan, yaitu dengan memberikan
bantuan secara individual atau kelompok
2.
Tujuan utama konseling
untuk anak usia sekolah
Kita ketahui bahwa konseling
merupakan suatu proses interaksi atau pemberian bantuan dari konselor kepada
konseli, baik secara langsung atau tidak langsung, secara individu atau
kelompok untuk membantu individu dalam rangka mencapai perkembangan yang
optimal. Dari usia SD sampai dewasa, (individu/remaja) harus mampu mencapai
tugas-tugas perkembangan atau SKKPD pada setiap jenjang yang ditempuh. Jadi
tujuan konseling adalah membantu individu dalam rangka mencapai perkembangan
yang optimal.
F. Tahap-tahap dalam layanan konseling untuk anak usia sekolah
proses konseling terdiri dari tiga tahapan yaitu:
(1) tahap awal (tahap mendefinisikan masalah); (2) tahap inti (tahap kerja);
dan (3) tahap akhir (tahap perubahan dan tindakan).
1.
Tahap Awal
Tahap ini terjadi dimulai sejak konseli menemui
konselor hingga berjalan sampai konselor dan konseli menemukan masalah konseli.
Pada tahap ini beberapa hal yang perlu dilakukan, diantaranya :
Membangun hubungan konseling yang melibatkan konseli
(rapport). Kunci keberhasilan membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-asas
bimbingan dan konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan;
dan kegiatan.
2.
Inti (Tahap Kerja)
Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses
konseling selanjutnya adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja.
Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang harus
dilakukan, diantaranya :
1.
Menjelajahi dan
mengeksplorasi masalah konseli lebih dalam. Penjelajahan masalah dimaksudkan
agar klien mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap masalah yang
sedang dialaminya.
2.
Konselor melakukan
reassessment (penilaian kembali), bersama-sama klien meninjau kembali
permasalahan yang dihadapi klien.
3.
Menjaga agar hubungan
konseling tetap terpelihara.
3.
Akhir (Tahap Tindakan)
Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang
perlu dilakukan, yaitu :
1.
Konselor bersama klien
membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling.
2.
Menyusun rencana
tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang telah terbangun dari
proses konseling sebelumnya.
3.
Mengevaluasi jalannya
proses dan hasil konseling (penilaian segera).
4.
Membuat perjanjian
untuk pertemuan berikutnya
G.
Tekhnik yang dapat digunakan dalam konseling untuk masa anak usia sekolah
Teknik-teknik yang bisa digunakan dalam konseling
yaitu:
1.
Perilaku Attending
Perilaku attending disebut juga perilaku menghampiri
klien yang mencakup komponen kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan.
Perilaku attending yang baik dapat :
a.
Meningkatkan harga diri
klien.
b.
Menciptakan suasana
yang aman
c.
Mempermudah ekspresi
perasaan klien dengan bebas.
2.
Empati
Empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa
yang dirasakan klien, merasa dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau
tentang klien. Empati dilakukan sejalan dengan perilaku attending, tanpa
perilaku attending mustahil terbentuk empati.
3.
Refleksi
Refleksi adalah teknik untuk memantulkan kembali
kepada klien tentang perasaan, pikiran, dan pengalaman sebagai hasil pengamatan
terhadap perilaku verbal dan non verbalnya.
4.
Eksplorasi
Eksplorasi adalah teknik untuk menggali perasaan,
pikiran, dan pengalaman klien. Hal ini penting dilakukan karena banyak klien
menyimpan rahasia batin, menutup diri, atau tidak mampu mengemukakan
pendapatnya. Dengan teknik ini memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa
rasa takut, tertekan dan terancam. Seperti halnya pada teknik refleksi.
5.
Menangkap Pesan
(Paraphrasing)
adalah teknik untuk menyatakan kembali esensi atau
initi ungkapan klien dengan teliti mendengarkan pesan utama klien,
mengungkapkan kalimat yang mudah dan sederhana, biasanya ditandai dengan
kalimat awal : adakah atau nampaknya, dan mengamati respons klien terhadap
konselor.
6.
Pertanyaan Terbuka
(Opened Question)
Pertanyaan terbuka yaitu teknik untuk memancing
siswa agar mau berbicara mengungkapkan perasaan, pengalaman dan pemikirannya
dapat digunakan teknik pertanyaan terbuka (opened question).
7.
Pertanyaan Tertutup
(Closed Question)
Dalam konseling tidak selamanya harus menggunakan
pertanyaan terbuka, dalam hal-hal tertentu dapat pula digunakan pertanyaan
tertutup, yang harus dijawab dengan kata Ya atau Tidak atau dengan kata-kata
singkat. Tujuan pertanyaan tertutup untuk : (1) mengumpulkan informasi; (2)
menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan (3) menghentikan pembicaraan klien
yang melantur atau menyimpang jauh.
8.
Interpretasi
Yaitu teknik untuk mengulas pemikiran, perasaan dan
pengalaman klien dengan merujuk pada teori-teori, bukan pandangan subyektif
konselor, dengan tujuan untuk memberikan rujukan pandangan agar klien mengerti
dan berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan baru tersebut.
9.
Menyimpulkan Sementara
(Summarizing)
Yaitu teknik untuk menyimpulkan sementara
pembicaraan sehingga arah pembicaraan semakin jelas. Tujuan menyimpulkan
sementara adalah untuk : (1) memberikan kesempatan kepada klien untuk mengambil
kilas balik dari hal-hal yang telah dibicarakan; (2) menyimpulkan kemajuan
hasil pembicaraan secara bertahap; (3) meningkatkan kualitas diskusi; (4)
mempertajam fokus pada wawancara konseling.
0 komentar:
Posting Komentar