PENGANTAR KONSELING
RESUME
Untuk memenuhi tugas akhir
matakuliah Pengantar Konseling
Yang dibina oleh Bapak Dr. M Ramli, M.A
Oleh:
Yusuf Putra Pratama
Yusuf Putra Pratama
110111405715
BK-B
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
Mei,2012
Hakikat Dan
Perkembangan Konseling
Konseling merupakan upaya profesional yang muncul karena adanya sejumlah pertanyaan yang
dijawab individu dan diperlukan bantuan profesional. Menurut eksistensinya,
konseling merupakan salah satu bantuan profesional yang sejajar dengan
psikiatris, psikoterapi, kedokteran, dan penyuluhan sosial. Dilihat
kedudukannya dalam proses keseluruhan bimbingan, guidance, konseling merupakan
bagian integral, atau teknik andalan, bimbingan, dan di sini orang lazim
menggabungkan menjadi “Bimbingan dan Konseling”.
Pengantar Ke Pemahaman Konseling
Konseling
merupakan suatu proses pelayanan yang melibatkan kemampuan profesional pada
pemberi layanan.Konseling sebagai helping: upaya pemberian bantuan,selanjutnya
disebut helping,adalah yang profesional sifatnya. Menurut McCully,suatu
profesi helping dimaknakan sebagai adanya seseorang,didasarkan
pengetahuan khasnya, menerapkan suatu teknik intelektual dalam suatu pertemuan
khusus (existencial affairs) dengan orang lain dengan maksud agar orang
lain tadi memungkinkan lebih efektif mengahadapi
dilema-dilema,pertentangan,yang merupakan cir khas kondisi manusia.
Konselingpada dasarnya merupakan suatu hubungan helping, helping
relationship.
Konseling
sebagai ilmu dan seni: Lawrence M.Brammer (1985) melihat sisi ilmu
helping,termasuk konseling,adalah keterlibatan penelitian dan teori terinci
didalamnya. Aspek ilmiah kegiatan konseling berkenaan dengan pemerian
(pendeskripsian) data,peramalan,perampakan terhadap tingkah laku. Sedangkan
sisi srtistik helping/konseling,menurut Brammer,lebih mengacu pada unsur-unsur
intuitif dan perasaan jalinan hubungan antar pribadi (interpersonal
relationship) yang berlandaskan terutama pada kemanusiaan dan daya cipta
seni.
Konseling dan
higiologi: Higiologi (hygiology),secara harfiah dapat dikatakan sama
dengan ilmu kesehatan mental. S. Narayana Rao mendefinisikan higiologi sebagai
studi tentang masalah-masalah orang normal dan pencegahan terhadap terjadinya
kesukaran-kesukaran emosional yang serius. Kemudian dilanjutkannya bahwa
konseling lebih cocok berurusan dengan higiologi daripada dengan psikologi
tingkah laku.
Latar
Belakang Konseling
Menurut Shertzer dan Stone konseling mulai ada pada tahun 1898 melalui
ungkapan, “Counseling may have begun in 1898 whwn Jesse B. Davis begun work as
a counselor at Central High School in Detroit, Michigan.”Kemudian konseling
berkembang di berbagai negara termasuk Indonesia yang lekat dalam upaya
pengembangan bimbingan sekolah di Indonesia sejak 1960.
Faktor pendorong perkembangan konseling sekolah secara umum di Indonesia
antara lain adalah: adanya masa kritis dalam tiap masa perkembangan individu;
kondisi teknologi yang berkembang pesat, kondisi nilai-nilai demokratis, nilai
humanitis versus nilai pragmatis, nilai-nilai etika pergaulan; kondisi
struktural dan kebidangan dan lapangan kerja.
Faktor-faktor pendorong lain perkembangan konseling, khusus konseling
sekolah adalah adanya kebutuhan nyata dan kebutuhan potensial para siswa pad
beberapa jenjang pendidikan, yaitu:
dalam menghadapi saat-saat krisis; dalam menghadapi kesulitan dan kemungkinan
kesulitan pemahaman diri dan lingkungan untuk arah diri dan pengambilan
keputusan dalam karir, akademik, dan pergaulan sosial; mencegah sedapat mungkin
kesulitan yang dihadapi dalam pergaulan, pilihan karir; dan dalam menopang
kelancaran perkembangan individual siswa.
1.
Pengertian konseling
Shertzer dan Stone, mendefinisikan bahwa konseling adalah
suatu proses yang menegaskan bahwa konseling bukanlah suatu kejadian tunggal
melainkan melibatkan tindakan-tindakan beruntun dan berlangsung maju dan
berkelanjutan ke arah suatu tujuan.
Menurut C.H. Patterson
konseling bukanlah mempengaruhi sikap, kepercayaan, atau tingkah laku
dengan cara menganjurkan, mengarahkan atau meyakinkan, betapapun itu dilakukan
secara tidak langsung, secara halus, atau secara tidak memaksa.
Meurut Pietrofesa, dkk. konseling adalah berurusan dengan
keterampilan pembuatan keputusan dan pemecahan masalah yang terjadi atas dasar
hubungan konselor-klien.
Dari ketiga pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
konseling merupakan proses pemberian bantuan konselor kepada konseli dengan
bertatap muka dalam upaya memfasilitasi klien dalam menentukan jalan keluar
atau mengatasi hambatan dalam proses perkembangannya dan bertujuan agar klien
dapat mencapai perkembangan yang optimal.
2.
Tipe-tipe konseling
a.
Konseling krisis
Krisis
dapat diartikan sebagai suatu keadaan disorganisasi dimana konseli menghadapi
frustasi dalam upaya mencapai tujuan pentinghidupnya atau mengalami gangguan
dalam perjalanan hidup dan hal itu ditanggapi dengan stres. Situasi-situasi
demikian itu sering memerlukan respon-respon khusus dari konselor guna membantu
konseli yang tak berdaya.
Aktivitas
konselor dalam mengatasi situasi krisis adalah dengan intrvensi langsung atau
campur tangan, dukungan kadar tinggi, dan konseling individualatau referal ke
klinik atau lembaga yang layak.
b.
Konseling fasilitatif
Konseling
fasilitatif merupakan proses membantu klien menjadikan jelas permasalahan;
selanjutnya bantuan dalam pemahaman dan penerimaan diri, penemuan, rencana
tindakan dalam mengatasi masalah; dan akhirnya, melaksanakan semua itu atas
tanggung jawab sendiri. Masalah yang ditangani dengan konseling fasilitas meliputi
masalah memilih jurusan atau matapelajaran pilihan, perencanaan karir,
pergaulan dengan orang sekitar, dan pengidentifikasikan bakat dan minat.
c.Konseling prefentif
Konseling
preventif meliputi, misalnya program pendidikan seks di sekolah dasar dengan
niat mencegah kecemasan pada masa yang akan datang mengenai seksualitas. Dalam
konseling ini, konselor membantu siswa memahami diri sendiri sehubungan dengan
permasalahan seksual, juga dalam menyiapkan siswa sebaik-baiknya untuk
menghadapi masalah itu pada masa depan.
EKSPEKTASI DAN TUJUAN KONSELING
Kecocokan antara ekspektasi dan tujuan antar kedua pihak yang terlibat
dalam konseling, banyak menentukan kelancaran proses konseling dan melandasi
“kelanggengan” saling hubungan kedua pihak sampai keduanya sepakat bahwa
konseling layak diakhiri. Tugas dan tanggung jawab konselor dalam konteks ini
adalah membuat hubungan konseling jadi lancar dan “langgeng”, sekaligus
konselor harus dapat memadukan antara ekspektasi dan tujuan-tujuan yang muncul
dalam suatu hubungan konseling tertentu.
A.
Ekspektasi nonkonseli
Ekspektasi-ekspektasi nonkonseli terhadap konseling sangat beragam,
sering kontradiksi, dan kadang-kadang mustahil. Kesemuanya bersumber dari
kebutuhan dan keinginan. Di sini akan terlihat statemen-statemen ekspektasi
para siswa, guru, kepala sekolah, dan para orang tua.
B.
Ekspektasi konseli
Bentuk-bentuk ekspektasi konseli, menurut Pietrofesa, dkk., dapat
berupa: memilih suatu karir, mendapatkan informasi jabatan dan pendidikan,
mengembangkan pemahaman diri, mencapai angka-angka yang lebih baik, memperbaiki
kebiasaan-kebiasaan belajar, merencanakan/memprogamkan pelajaran, memilih
perguruan tinngi, menempuh tes, menemukan minat, meningkatkan hubungan baik,
antarteman sebaya, membicarakan kerisauan pribadi, dan mendapatkan keterangan
tentang obat-obat bius atau seks. Mayoritas konseli, menurut Shertzer dan Stone
(1974), menganggap konseling akan menghasilkan pemecahan masalah pribadi
mereka. Namun ternyata kecenderungan masalah konseli itu dapat berubah lewat
beberapa tahun. Adapula perbedaan ekspektasi terhadap konselor menurut perbedaan jenis kelamin konseli. Peneliti
Tinsley dan Harris itu mengungkapkan bahwa para konseli wanita mengharapkan
konselor ada penerimaan dan tidak menggurui atau tidak menghakimi, tidak
menilai, sedangkan para konseli pria menganggap konselor lebih direktif, kritis
dan analitis.
C.
Tujuan konseli dan tujuan konselor
1.
Tujuan konseli
Tujuan-tujuan
konseli yang datang menemui konselor bersumber dari ekspektasi konseli mengenai
masalah mendesak yang sedang disirisaukan konseli. Perlu ditegaskan lagi bahwa
para konseli menghadiri konseling dengan ekspektasi-ekspektasi dan
tujuan-tujuan khas dan beragam dari konseli ke konseli.
2.
Tujuan konselor
Tujuan-tujuan konselor dalam konteks konseling merupakan pantulan dari
falsafah selaku dasar-pijak tiap-tiap konselor. Menurut S. Narayana Rao,
tujuan-tujuan konselor tidak terbatas pada memahami klien. Konselor memiliki
tujuan yang berbeda-beda menurut berbagai tingkatan kemanfaatan. Adapun tujuan
sesaat adalah agar konseli mendapat kelegaan, sedangkan tujuan jangka panjang
adalah agar konseli menjadi pribadi yang bermakna penuh.
D.
Ragam stetemen tujuan konseling
Adapun beberapa statemen tujuan konseling yang sering dipakai oleh
beberapa pakar, dikemukakan oleh Shertzer and Stone (1974) yang disadur singkat
dalam: Perubahan tingkah laku (behavioral change), kesehatan mental
positif (positive mental health), keefektifan pribadi (problem
resolution), dan pembuatan keputusan (decision making).
1.
Kesehatan mental positif (positive mental health)
Konselor yang berkecondongan efektif
menyatakan bahwa pemeliharaan atau mendapatkan mental sehat merupakan tujuan
konseling. Jika mental sehat dicapai maka individu memiliki integrasi,
penyesuaian, dan identifikasi positif terhadap orang lain. Di sini individu
belajar menerima tanggung jawab, mandiri, dan mencapai integrasi tingkah laku.
2.
Keefektifan Pribadi (problem resolution)
Shoben memandang pula perkembangan
pribadi sebagai tujuan konseling. Dia menunjukkan pula kecondongan tujuan ini
pada konseling orientasi kognitif ketika menyatakan bahwa konseling merupakan
suatu pengalaman perkembangan dalam mana pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan memelihara pertumbuhan pribadi.
3.
Pembuatan keputusan (decision making)
Dalam hal ini, konselor tidaklah
menetapkan keputusan-keputusan yang akan dibuat konseli, ataupun memilihkan
cara alternatif bagi tindakan konseli.
4.
Perubahan tingkah laku (behavioral change)
Shertzer and Stone mengungkapkan
bahwa perubahan sebagai suatu tujuan konseling mungkin terbatas khusus seperti
perubahan respon khusus terhadap frustasi ataupun perubahan-perubahan sikap
terhadap orang lain atau terhadap diri sendiri.
E.
Pernyataan-pernyataan tujuan dalam konseling
Pernyataan-pernyataan tujuan konseling memberi arah yang menuntun proses
konseling, juga memungkinkan diketahui apakan upaya konseling berhasil atau
tidak. Ada prinsip-prinsip dasar dan prinsip-prinsip praktis dalam hal ini.
1.
Prinsip-prinsip dasar pendayagunaan tujuan
Kriteria penentuan tujuan dalam
konseling yang dikemukakan oleh Krumboltz (1996) berikut ini:
-
The goals of counseling should be capable of being stated
differently for each individual client
-
The goals of counseling for each client should be compatible
with though not necessarily idential to, the value his counselor.
-
The degree to which the goals of counseling are attained by
each client should be observable.
2.
Prinsip-prinsip praktis pendayagunaan tujuan
-
Tujuan-tujuan konseling dirumuskan dalam kategori tujuan
akhir, tujuan proses, dan tujuan sesaat
-
Pertimbangan utama dalam pembuatan rumusan tujuan konseling
bahwa rumusan tujuan-tujuan konseling bahwa rumusan tujuan-khusus yang dibuat
merupakan keputusan yang paling selamat bagi konseli, dan bukannya apa yang
dinyatakan konseli untuk diperbuatnya.
-
Rumusan tujuan konseling bersifat fleksibel baik pada segi
isi suatu tujuan maupun pada segi struktur dari seperangkat tujuan.
-
Rangkaian rumusan tujuan konseling hendaknya dirancang
sehingga konselor dapat mengantisipasi metode dan teknik penilaian atau
pencapaiannya.
PERKEMBANGAN DAN
MASALAH KONSELI
A.
Perkembangan Individual Konseli
1.
Prinsip-prinsip perkembangan
Prinsip-prinsip
perkembangan yang dikemukakan Dinkmeyer dan Caldwell yaitu :
a.
Growth is patterned
b.
Growth is sequential
c.
Developmental rates vary
d.
Developmental pattern show wide individual diffe-rencess
e.
Developmental is product of the interaction of organism and
its environment
f.
The body tend to maintain a state of equilibrium called
homeostasis
g.
Readiness should precede certain types of learning
Perkembangan
ini diadaptasikan sebagai berikut :
a.
Pertumbuhan memiliki suatu pola tertentu : Setiap anak
memiliki pola dan ciri kecepatan pertumbuhan yang unik.
b.
Pertumbuhan mempunyai urut-urutan : Urutan ini dapat
memberikan gambaran kesulitan yang dihadapi individudengan melihat seberapa
jauh penyimpangannya dari urutan yang ada.
c.
Kecepatan perkembangan bervariasi : Kecepatan perkembangan
tidak pernah tetap. Antara laki-laki dan perempuan, perempuan memasuki masa
praremaja lebih awal.
d.
Pola-pola perkembangan menunjukkan adanya perbedaan individu
yang sangat besar : Variabilitas intraindividual dapat diamati secara teratur
pada individu-individu dan membantu kita mengetahui arti dari keunikan pada
setiap anak.
e.
Perkembangan merupakan hasil interaksi antar organisme
dengan lingkungannya : Hereditas dan lingkungan selalu saling melengkapi dan
tergantung satu sama lain dalam menentukan perkembangan individu.
2.
Tahap dan Tugas Perkembangan
Tugas perkembangan yaitu
seperangkat sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang perlu dikuasai seseorang
individu sejalan dengan taraf pertumbuhan dan kematangan yang dicapai serta
budaya lingkungannya. Contoh-contoh tugas perkembangan: belajar berjalan,
belajar bicara, bermain dengan teman sebaya, menerima keadaan fisik, memilih
pasangan, memelihara standar kehidupan ekonomi keluarga, menyesuaikan diri
terhadap fisik yang semakin menurun.
3.
Implikasi Dalam Konseling
Proses
konseling berupaya membantu konseli mengadakan adaptasi melalui penguatan
toleransi frustasi atas keajegan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Dalam
interview konseling, dari segi kebutuhan ini, konselor efektif perlu memahami
dan menerapkan secara kreatif pemahamannya tentang kebutuhan terkuat konseli.
Teknik-teknik proyektif merupakan suatu alat yang patut dipakai oleh konselor
untuk menafsirkan kebutuhan konseli.
B.
Citra Diri Konseli
Citra diri menunjuk pada pandangan atau pengertian seseorang terhadap
dirinya sendiri.
1.
Dimensi-dimensi citra diri
Dimensi
pertama citra diri yaitu diri dilihat oleh diri sendiri. Dimensi kedua, yaitu
sebagai dilihat oleh orang lain. Dimensi ketiga, yaitu diri-idaman, mengacu
pada tipe orang yang saya kehendaki tentang diri saya.
2.
Peranan citra diri
Citra diri itu
berbeda dari orang ke orang, maka citra diri dapat dianggap sebagai penunjuk
pokok keunikan individu dalam bertingkah laku.
3.
Perkembangan citra diri
Variabel lain
yang berpengaruh terhadap perkembangan citra diri adalah lingkungan
nonmaterialistik dengan karakteristik masing-masing. Anak-anak yang dibesarkan
dalam lingkungan masyarakat materialistik akan dipengaruhi baik oleh kelimpahan
atau kekurangan barang-barang duniawi. Sedangkan dalam masyarakat
nonmaterialistik, cenderung berisikan pemikiran, gagasan, dan nilai-nilai
kebaikan dan keindahan. Oleh karena citra diri itu tumbuh dan berkembang dalam
interaksi sosial maka perubahan dan modifikasinya pun terjadi dalam interaksi
sosial yang berlangsung sepanjang hidup sesorang. Pemodifikasian citra diri
dalm interaksi sosial wajar berlangsung dalam jangka waktu panjang.
Akan tetapi,
dalam interaksi sosial terkontrol (misal, pendidikan, pengajaran, dan
konseling), perubahan citra diri mengenai bidang tertentu mungkin terjadi dalam
tentang waktu tidak terlalu panjang.
4.
Implikasi dalam konseling
a.
Tujuan konseling dapat difokuskan pada pengembangan citra
diri konseli.
b.
Dalam proses konseling, sejalan dengan itu, konselor
haruslah melihat bagaimana konseli lihat diri sendiri dan pengalamannya
sendiri, dan membicarakan pengalaman-pengalaman konseli itu.
c.
Teknik-teknik umum yang dapat digunakan oleh konselor
penganut ancangan apa pun, di antaranya, adalah perubahan lingkungansebagai hal
bermanfaat membantu konseli dalam pemodifikasian citra diri ke arah yang lebih
dikehendaki.
d.
Keberhasilan-keberhasilan kecil sekalipun akan dapat
membantu konseli memperoleh citra diri yang lebih positif, sekurang-kurangnya
motivasi ke arah mendapatkan citra diri yang lebih dikehendaki.
C.
PemenuhanKebutuhan Konseli Dengan Citra Diri
1.
Kategori kebutuhan
Kategori
kebutuhan yang agak umu dikemukakan oleh George J. Mouly, dan disadur sebagai
berikut: (1) kebutuhan fisiologis, meliputi kebutuhan makanan, air,
tidur dan istirahat, bergerak, dan seks. (2) kebutuhan psikologis, meliputi
kebutuhan kasih sayang, rasa memiliki, berprestasi, mandiri, pengakuan sosial,
dan kebutuhan harga diri.
Sedangkan
hierarki jenjang kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow (1945):
a.
Physical needs
b.
Safety needs
c.
Love needs
d.
Esteem needs
e.
Self actualization needs
2.
Pemuasan kebutuhan dan pengaruhnya terhadap medan perseptual
Beberapa aspek
psikologis yang dapat terpengaruh langsung atas pemuasan pemenuhan kebutuhan
adalah medan perseptual, sensitivitas, dan ketekunan. Pemuasan kebutuhan
merupakan sebagian dasar penting pembentuk citra diri, dan citra diri
menentukan medan perceptual dan tingkah
laku.
Peristiwa flight from
reality, lari dari kenyataan, dalam taraf yang akut, dapat menetap
dalam medan pengalaman individu manakala kebutuhan- kebutuhan kebutuhan selalu
terhalang pemuasannya. Kebanyakan individu dapat keluar dari keadaan demikian
dengan cara menata kembali kekuatan dan tenaga guna memperkuat ego dan
mendapatkan pemuas kebutuhan dalam kehidupan nyata. Akan tetapi, beberapa
individu dapat hanyut dan tenggelam dalam khayal sehingga gejala tadi menetap
dalam medan pengalamannya. Dalam peristiwa itulah terjadi karakteristik alam khayal penderita sakit mental
tertentu.
3.
Pemuas kebutuhan dan toleransi frustasi
Terdapatdua cara utama pencegahan gejala-gejala yang tidak dikendaki, antara lain:
a.
Pemuasan kebutuhan masa kanak-kanak. Beberapa factor penting bagi pencapaian suatu rasa gembira atau bahagia dan dapat membawa anak-anak kesuatu keadaan penyesuaian baik (G.H Lowrey): 1) keamanan dan suatu perasaan sebagai anggota keluarga dan kelompok sosial, 2)
adaptabilitas dan belajar hidup dengan dunia sekitarnya, 3) ekspresi diri dan kebebasan penunjukan individualitas diri, 4) pencapaian sukses dalam hal besar maupun hal kecil.
b.
Toleransi frustasi. Toleransi frustasi didefinisikan sebagai jumlah hambatan yang dapat ditanggung atau ditahanm tanpa menimbulkan kegagalan penyesuaian psikologis. Dengan demikian, toleransi frustasi individu merupakan kapasitas individu menahan frustasi tanpa mendistorsikan medannya dan juga bahwa toleransi tadi mencegah ketidak mampuan individu memikul beban ketegangan yang lebih lama dalam situasi nyata.
4.
Implikasi dalam konseling
a.
Tujuan konseling dapat mengarah terutama pada pemenuhan kebutuhan terkuat individu atau kebutuhan-kebutuhan klien yang tidak
mendapatkan pemenuhan secara semestinya dalam situasi natural.
b.
Proses konseling yang ditandai sikap dasar konselor yang penuh penerimaan, pemahaman, keakraban, sangat membantu pemenuhan kebutuhan psikologis konseli.
c.
Proses konseling berupaya membantu konseli mengadakan adaptasi melalui penguatan toleransi frustasi atas ketakajekan pemenuhan kebutuhan tertentu.
d.
Dalam interview konseling, dari segi kebutuhan ini, konselor efektif perlu memahami dan menerapkan secara kreatif pemahamannya tentang kebutuhan terkuat pada konseli.
e.
Teknik-teknik proyektif merupakan suatu alat yang dipakai konselor untuk menafsirkan kebutuhan dan kekurang puasan kebutuhan tertentu konseli.
PRIBADI DAN
KETERAMPILAN KONSELOR
A.
Konselor Sebagai Pribadi
Untuk dapat melaksanakan peranan profesional yang unik sebagaimana
tuntutan profesi, konselor profesional harus memiliki pribadi yang berbeda
dengan pribadi-pribadi yang bertugas membantu lainnya. Konselor dituntuk
memiliki pribadi yang lebih mampu menunjang keefektifan konseling. Keberhasilan
dalam konseling lebih bergantung pada kualitas pribadi konselor ketimbang
kecermatan teknik. Namun bukan berarti bahwa keterampilan konselor tidak
penting. Karena keterampilan juga dapat meningkatkan kualitas pribadi konselor
pada taraf yang lebih tinggi. Ciri kekhasan konselor : kesadaran akan diri dan
nilai-nilai, kesadaran akan pengalaman budaya, kemampuan menganalisis perasaan
sendiri, kemampuan menjadi “teladan” dan “orang yang berpengaruh”, altruisme
(kesediaan berkorban untuk kepentingan atau kebahagiaan orang lain, penghayatan
etik yang kuat, dan tanggung jawab.
1.
Sikap dan Keterampilan Konselor
Sikap dan keterampilan merupakan dua aspek penting kepribadian konselor.
Sikap sebagai suatu disposisi tidaklah tampak nyata, tidak dapat dilihat
bentuknya secara langsung. Sedangkan keterampilan dapat tampak wujudnya dalam
perbuatan.
a.
Sikap dasar konselor
•
Penerimaan : mengacu pada kesediaan konselor memiliki
penghargaan tanpa menggunakan standar ukuran atau persyaratan tertentu terhadap
individu sebagai manusia atau individu secara utuh.
•
Pemahaman : konselor diharapkan memiliki pemahaman terhadap
konseli.
•
Kesejatian dan keterbukaan
b.
Keterampilan dasar konselor
Keterampilan
dasar konselor yaitu kompetensi intelektual yang juga merupakan kompetensi
komunikasi, kelincahan karsa-cipta, dan pengembangan keakraban.
B.
Keefektifan konselor
Kualitas pribadi, sikap dasar, dan keterampilan konselor merupakan
sebagian prasyarat keefektifan konselor.
1.
Faktor-faktor pembeda umum
Shertzer dan Stone (1974)
menyebutkan tiga kelompok faktor umum untuk melihat keefektifan konselor, yaitu
pengalaman, tipe hubungan konselor, dan faktor-faktor nonintelektif.
2.
Ciri-ciri khusus kemampuan konselor efektif
Eisenberg dan Delaney (1977)
mengemukakan secara rinci mengenai ciri-ciri konselor efektif sebagai berikut :
a.
Para helper yang efektif sangat terampil mendapatkan
keterbukaan
b.
Para helper yang efektif membangkitkan rasa percaya,
kredibilitas, dan keyakinan dari orang-orang yang mereka bantu
c.
Para helper yang efektif mampu menjangkau wawasan luas,
seperti halnya mereka mendapatkan keterbukaan.
d.
Para helper yang efektif berkomunikasi dengan hati-hati dan
menghargai orang-orang yang mereka upayakan bantu
e.
Para helper yang efektif mengakui dan menghargai diri
sendiri dan tidak menyalahgunakan orang-orang yang mereka coba bantu untuk memuaskan
kebutuhan pribadi mereka sendiri
f.
Para helper yang efektif mempunyai pengetahuan khusus dalam
beberapa bidang keahlian yang mempunyai nilai bagi orang-orang tertentu yang
akan dibantu
g.
Para helper yang efektif berusaha memahami, bukannya
menghakimi, tingkah lakuorang yang diupayakan bantu
h.
Para helper yang efektif mampu bernalar secara sistematis
dan berfikir dengan pola sistem
i.
Para konselor yang efektif berpandangan mutakhir dan
memiliki wawasan luas terhadap peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan
manusia.
j.
Para helper yang efektif mampu mengidentifikasi pola tingkah
laku yang merusak diri dan membantu orang lain untuk berubah dari tingkah laku
merusak diri ke pola tingkah laku yang secara pribadi lebih memuaskan
k.
Para helper yang benar-benar efektif sangat terampil
membantu orang-orang lain melibat diri sendiri, dan merespon secara tidak
desentif terhadap pertanyaan, “Siapakah saya?”
3.
Ciri-ciri khusus perseptual konselor yang baik
a.
Para konselor yang baik lebih cenderung berpersepsi :
•
Dari kerangka acuan internal daripada kerangka acuan
eksternal.
•
Kepada orang daripada benda.
b.
Para konselor yang baik akan mempersepsikan oranglain
sebagai :
•
Mampu daripada tak mampu
•
Patut percaya daripada sangsi
•
Peramah daripada tak acuh
•
Berguna daripada sia-sia
•
Suka membantu daripada suka mengganggu
•
Termotivasi secara internal daripada secara eksternal
c.
Para konselor yang baik mempersepsi diri sendiri sebagai:
•
Beridentifikasi pada orang daripada menghindari orang
•
Memadai daripada tidak berdaya
•
Berguna daripada sia-sia
•
Terpercaya daripada meragukan
d. Para konselor yang baik
mempersepsi tujuan-tujuan mereka sebagai:
•
Membebaskan daripada mengendalikan
•
Altruistis daripada narisistis
•
Memperhatikan makna yang luas daripada yang sempit
•
Membuka diri daripada menutup-nutupi diri
•
Melibat daripada menghindar
•
Berorientasi pada proses daripada berorientasi pada tujuan
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar